Tanggal 21 Mei 1998 tercatat sebagai hari bersejarah: Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan setelah lebih dari tiga dekade memimpin. Kini, 27 tahun berselang, bangsa ini terus bergulat dengan janji-janji Reformasi. Demokratisasi, pemberantasan korupsi, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang pernah menjadi tuntutan utama mahasiswa dan rakyat saat itu, nyatanya belum sepenuhnya terwujud.
Dalam momentum reflektif ini, ironi sejarah pun muncul: wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Jenderal Besar (Purn.) Soeharto, kembali mengemuka dan membelah opini publik. Di balik ketokohan dan jasanya, Soeharto juga mewariskan luka sejarah yang belum seluruhnya disembuhkan. Di sinilah ujian kedewasaan kolektif bangsa ini berada; apakah kita mampu melihat sejarah secara utuh dan tidak terjebak dalam penilaian hitam-putih?
Reformasi mengajarkan kita pentingnya kebebasan berpikir, termasuk dalam melihat sosok-sosok bersejarah yang tidak selalu hitam atau putih. Karena itu, dalam menilai Soeharto, kita perlu bijak – tidak berlebihan memuji, tapi juga tidak langsung menyalahkan. Sebab bangsa yang besar bukan yang melupakan sejarahnya, tapi yang berani menghadapi dan memahaminya dengan jujur dan seimbang.