Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak di Indonesia belakangan ini adalah hantaman kejiwaan yang sangat dalam bagi individu terdampak. Namun realitanya, secara publik peristiwa ini hanya diprosakan dalam bingkai beban sosio ekonomi saja, padahal magnitudo dampaknya sangat merusak kesehatan jiwa.
Dalam disiplin kedokteran kerja, kehilangan pekerjaan termasuk kategori ‘life event stressor’ yang paling tinggi skornya dalam skala stres Holmes-Rahe, setara dengan kematian pasangan atau perceraian. Luka psikologisnya dapat menjelma menjadi gangguan mental serius, yang jika tidak ditangani, meluas menjadi krisis sosial yang mengancam stabilitas keluarga dan komunitas.
Relevansi klinisnya jelas, karena pekerjaan merupakan social determinants of mental health, menjadikannya salah satu pilar utama kesehatan jiwa. Sehingga, kehilangannya memicu kecemasan, depresi, trauma jangka panjang dan reintegration failure atau kesulitan berintegrasi dengan kehidupan sosial. Itu sebabnya penting menyimak sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet Psychiatry (2020), bahwa individu yang terkena PHK memiliki risiko dua kali lipat mengalami gangguan depresi mayor.