Berita  

Tabur Meme, Tuai Jeruji – Update 3

Tabur Meme, Tuai Jeruji - Update 3
Tabur Meme, Tuai Jeruji – Update 3

Saat layar ponsel kita menjadi kanvas ekspresi, dan media sosial menjadi panggung yang bebas dan tanpa pagar, kita sering lupa bahwa di dunia maya pun, hukum tetap mengintai. Kasus SSS, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini menjadi tersangka dan ditahan setelah mengunggah meme bergambar Prabowo Subianto dan Joko Widodo berciuman, adalah satu dari sekian pengingat getir bahwa tidak semua yang kita anggap lucu, kreatif, atau satir, terbebas dari jeratan hukum. Meme yang awalnya mungkin dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi artistik atau kritik sosial, justru berujung pada kriminalisasi. Pertanyaannya, apakah yang ia tuai sepadan dengan apa yang ia tabur? Di sinilah kita perlu mengurai simpul antara hukum, adab, dan moral, yang kerap tidak sejalan dalam praktiknya.

Dalam tradisi Islam dikenal konsep “hukum tabur tuai” — bahwa siapa menanam, ia akan memetik hasilnya, baik atau buruk. Tapi di tengah kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi, prinsip ini menantang kita untuk merenung: apakah menanam sebuah gambar yang ditafsir menyinggung wibawa pemimpin pantas dipanen sebagai jeruji penjara? Apakah narasi digital harus dibalas dengan represi literal? Atau, apakah masyarakat kita masih punya ruang untuk menampung selisih pandangan tanpa serta merta mencabut kebebasan individu?

Mahasiswi SSS, yang berasal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, tentu terbiasa bermain dalam ranah simbol, metafora, dan bahasa visual yang tidak selalu mudah dimaknai tunggal. Dalam konteks seni dan kritik politik, meme seringkali adalah bentuk kontestasi — semacam ‘senjata’ lelucon untuk membuka mata terhadap ironi atau absurditas politik. Tapi di negeri yang kadang gagap menghadapi kritik, karya semacam itu bisa dianggap subversif, melecehkan, bahkan kriminal. Maka ketika aparat menjawab ekspresi dengan penangkapan, di situlah muncul benturan: antara hak untuk berekspresi dan kewajiban untuk menjaga etika; antara hukum negara dan nilai sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *