Berita  

**Potret Umat Katolik Filipina: Mencambuk Diri dalam Peringatan Penyaliban Yesus**

**Potret Umat Katolik Filipina: Mencambuk Diri dalam Peringatan Penyaliban Yesus**
**Potret Umat Katolik Filipina: Mencambuk Diri dalam Peringatan penyaliban yesus**

Latar Belakang
Pada kamis putih, Filipina menjadi saksi atas ritual yang menyeramkan namun penuh makna bagi umat Katolik lokal. Ribuan jemaat memilih untuk mencambuk diri mereka sendiri sebagai bentuk penghormatan dan penyesalan atas dosa-dosa manusia, sekaligus memperingati penderitaan Yesus Kristus di kayu salib. Ritual ini, yang dikenal sebagai pabasa atau pangalabas, tidak hanya menjadi bagian dari tradisi agama tetapi juga menjadi sorotan internasional karena kekuatan spiritual dan dedikasi yang ditunjukkan oleh para pelakunya.
Fakta Penting
Ritual mencambuk diri sendiri ini biasanya dilakukan oleh anggota kelompok Mga Kaley atau Birhen yang terorganisir, yang memercayai bahwa penderitaan fisik dapat membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan. Beberapa jemaat bahkan menggunakan cambuk dengan ujung paku untuk meningkatkan derajat penderitaan. Namun, tidak semua umat Katolik Filipina setuju dengan praktik ini, dengan sebagian pihak menganggapnya terlalu ekstrem dan tidak sesuai dengan ajaran gereja yang lebih menekankan pengorbanan spiritual daripada fisik.
Dampak
Ritual ini telah mengundang berbagai respons dari masyarakat Filipina maupun internasional. Sementara beberapa pihak memuji dedikasi dan iman yang kuat yang ditunjukkan oleh para jemaat, pihak lainnya mengkhawatirkan dampak sosial dan kesehatan yang mungkin ditimbulkan. Beberapa LSM kesehatan telah mengeluarkan pernyataan untuk mendorong pendekatan yang lebih aman dalam menyatakan iman, sambil tetap menghormati tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Penutup
Ritual mencambuk diri sendiri di Filipina tidak hanya menjadi potret dari iman yang kuat, tetapi juga menjadi refleksi atas pertarungan antara tradisi dan modernitas dalam masyarakat global. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa menghormati kebebasan beribadah sambil memastikan bahwa tradisi-tradisi semacam ini tetap sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *